Gamitlah kasih sayang Tuhan dengan pengorbanan, gamitlah kasih sayang manusia dengan ketulusan. Rintik-rintik hujan yang menyuburkan bumi adalah tanda kasih-sayang Illahi. Debur ombak pula adalah irama alam yang menghuraikan kekusutan dunia. Mari dengar kicau burung dan alunan cengkerik malam hari, itu adalah zikir suci. Lagukanlah suara kasih sayang penuh ketulusan, di situ ada nilai kemanusiaan dan kecintaan anugerah Tuhan.
Atiyyah menebarkan pandangan jauh, dari jeti dia melihat pada bukit-bukau yang berbalam menabiri alam. Ada tona warna kehijauan, pekat dan muda lalu berbaur biru kian kelabu. Di kejauhan lautan, langit biru namun ada selaput awan putih memayungi diri, ceria sang suria tertabir teduh. Di kaki langit daratan, ada awan gemawan berpuput lembut disapa angin dari puncak bukit. Semilir bertiup segar, lalu gemersik dedaunan berselisih diselangi sepuhan lagu kicauan beburung melahirkan simfoni alam. Rintik-rintik hujan masih jatuh lagi dari bumbung langit dan ditebrak cahaya mencetuskan bianglala. Indah warnanya dan mengasyikkan.
“Aku ingin seperti angin. Berpuput lembut dan mengasyikkan.”
- Tapi angin juga bisa meribut memusnahkan!
“Aku ingin seperti hujan, rintik-rintiknya bak salju menyuburkan.”
- Tapi, betapa banyak bumi tenggelam dalam hujan yang menggila menjadi banjir duka!
“Ah..aku bisa jadi awan gemawan yang mengambus lelangit dan menabiri terik mentari”
- Kasihan bumi tidak tersimbah cahaya hidupan binasa dan alam merana.
“Em…jika begitu, izinkan aku menjadi aku, yang mencicip warna ceria alam, yang menghidu wangi bunga, yang merasa nikmat tanah, meneguk air kali dan mendengar kicau mergas tua bersimfoni indah pada desiran dedaunan bernyanyi pada hembusan angin, menikmati terik mentari dan mensyukuri nikmat awan gemawan berisi hujan yang menyimbah alam demi kehidupan.”
- Ya, berbanggalah kerana engkau adalah manusia, sebaik-baik kejadian yang ditentukan Tuhan!
Penerbangan ke Pulau Pinang dari Kuala Lumpur bergegas melewati batas waktu, 10.00 pagi. Dari atas udara, permukaan bumi tampak bagaikan tompokan pada kain perca. Berbaur segala rupa. Namun, makin pesawat merapat ke daratan, makin jelas warna alam, ada bangunan berdiri kaku, aliran sungai berliku dan jalan raya.
Tatkala roda pesawat Boeing 747-300S mencecah landasan, terbayang di mindanya. Wajah Pak Ngah Lazim dan Mak Ngah Minah yang begitu lama ditinggalkan. Terhimbau kenangan perahu nelayan yang oleng di tengah lautan, Pak Ngah Lazimlah yang kukuh berdiri di situ. Mak Ngah Minahlah yang berpagi-pagian bangun menyiapkan bekalan. Nasi bungkus daun pisang berlaukkan ikan gelama kering dan sayur kangkung, atau telur rebus asin dan sebotol penuh dua liter air kosong dan satu termos penuh kopi pahit.
Dia masih ingat, mereka adalah sepasang kekasih yang setia. Kehidupan yang dibina atas nama cinta yang diatur oleh ibu bapa. Mereka tidak kenal antara satu sama lain, hanya tahu nama dan kenal rupa saat dipertemukan pada hari yang amat mendebarkan. Hakikatnya, Aminah bt Abdul Wahab menjadi igauan ramai jejaka, dipertemukan dengan Muhammad Lazim Abdullah, pemuda kacak dari Pulau Mutiara.
Mereka menjalin cinta dan kasih selepas sighah terucap. Tidak tergambar indah pada mata, tautan hati menjadi intim dan mereka mencicip hari muka bersama. Sehari menakah minggu, seminggu menganjak sebulan, sebulan mendaki setahun dan dayungan kasih masih sama rentaknya. Oleng perahu sama dijaga, kayuhan pula sama irama. Pak Ngah Lazimlah nakhoda dan Mak Ngah Minahlah kemudinya. Perahu itu adalah bahtera mereka, berkelanalah mereka semahunya.
Namun, setahun berganjak dua menjadi tiga menyusur empat menagak lima menjadi puluhan pula. Rindu pada tangisan seorang anak kian membara. Namun, takdir dan iradah Tuhan tiada siapa menduga. Mak Ngah Minah masih belum berisi dan buncit perutnya. Puas mereka berusaha. Menjaga segala petua, menahan segala pantang-larangnya.
Salam ukhuwwah fillah...U-HAH
Atiyyah menebarkan pandangan jauh, dari jeti dia melihat pada bukit-bukau yang berbalam menabiri alam. Ada tona warna kehijauan, pekat dan muda lalu berbaur biru kian kelabu. Di kejauhan lautan, langit biru namun ada selaput awan putih memayungi diri, ceria sang suria tertabir teduh. Di kaki langit daratan, ada awan gemawan berpuput lembut disapa angin dari puncak bukit. Semilir bertiup segar, lalu gemersik dedaunan berselisih diselangi sepuhan lagu kicauan beburung melahirkan simfoni alam. Rintik-rintik hujan masih jatuh lagi dari bumbung langit dan ditebrak cahaya mencetuskan bianglala. Indah warnanya dan mengasyikkan.
“Aku ingin seperti angin. Berpuput lembut dan mengasyikkan.”
- Tapi angin juga bisa meribut memusnahkan!
“Aku ingin seperti hujan, rintik-rintiknya bak salju menyuburkan.”
- Tapi, betapa banyak bumi tenggelam dalam hujan yang menggila menjadi banjir duka!
“Ah..aku bisa jadi awan gemawan yang mengambus lelangit dan menabiri terik mentari”
- Kasihan bumi tidak tersimbah cahaya hidupan binasa dan alam merana.
“Em…jika begitu, izinkan aku menjadi aku, yang mencicip warna ceria alam, yang menghidu wangi bunga, yang merasa nikmat tanah, meneguk air kali dan mendengar kicau mergas tua bersimfoni indah pada desiran dedaunan bernyanyi pada hembusan angin, menikmati terik mentari dan mensyukuri nikmat awan gemawan berisi hujan yang menyimbah alam demi kehidupan.”
- Ya, berbanggalah kerana engkau adalah manusia, sebaik-baik kejadian yang ditentukan Tuhan!
Penerbangan ke Pulau Pinang dari Kuala Lumpur bergegas melewati batas waktu, 10.00 pagi. Dari atas udara, permukaan bumi tampak bagaikan tompokan pada kain perca. Berbaur segala rupa. Namun, makin pesawat merapat ke daratan, makin jelas warna alam, ada bangunan berdiri kaku, aliran sungai berliku dan jalan raya.
Tatkala roda pesawat Boeing 747-300S mencecah landasan, terbayang di mindanya. Wajah Pak Ngah Lazim dan Mak Ngah Minah yang begitu lama ditinggalkan. Terhimbau kenangan perahu nelayan yang oleng di tengah lautan, Pak Ngah Lazimlah yang kukuh berdiri di situ. Mak Ngah Minahlah yang berpagi-pagian bangun menyiapkan bekalan. Nasi bungkus daun pisang berlaukkan ikan gelama kering dan sayur kangkung, atau telur rebus asin dan sebotol penuh dua liter air kosong dan satu termos penuh kopi pahit.
Dia masih ingat, mereka adalah sepasang kekasih yang setia. Kehidupan yang dibina atas nama cinta yang diatur oleh ibu bapa. Mereka tidak kenal antara satu sama lain, hanya tahu nama dan kenal rupa saat dipertemukan pada hari yang amat mendebarkan. Hakikatnya, Aminah bt Abdul Wahab menjadi igauan ramai jejaka, dipertemukan dengan Muhammad Lazim Abdullah, pemuda kacak dari Pulau Mutiara.
Mereka menjalin cinta dan kasih selepas sighah terucap. Tidak tergambar indah pada mata, tautan hati menjadi intim dan mereka mencicip hari muka bersama. Sehari menakah minggu, seminggu menganjak sebulan, sebulan mendaki setahun dan dayungan kasih masih sama rentaknya. Oleng perahu sama dijaga, kayuhan pula sama irama. Pak Ngah Lazimlah nakhoda dan Mak Ngah Minahlah kemudinya. Perahu itu adalah bahtera mereka, berkelanalah mereka semahunya.
Namun, setahun berganjak dua menjadi tiga menyusur empat menagak lima menjadi puluhan pula. Rindu pada tangisan seorang anak kian membara. Namun, takdir dan iradah Tuhan tiada siapa menduga. Mak Ngah Minah masih belum berisi dan buncit perutnya. Puas mereka berusaha. Menjaga segala petua, menahan segala pantang-larangnya.
Salam ukhuwwah fillah...U-HAH
3 ulasan:
Salam kunjung balas dari tinta..
bahasa di sini enak ya. oh ya cerpen ini sampai di sini saja ka?
Salam tintahati,
insya-allah ada sambungannya...terima kasih atas kunjungan yang diberi, kapan jumpa lagi!
salam...manarik sekali cerpen ini...kata tinta..betul tu...mana sambungannya?
Catat Ulasan